Source text in Indonesian | Translation by Social Engineer (#12592) |
Suara gaduh terdengar dari rumah Suliah ketika ia sedang memarahi Meriam, anak gadisnya semata wayang. Bagaimana dia tidak mau gusar, Meriam yang kini menginjak umur 16 sering menjadi gunjingan penduduk desa Madurasa. Memang semenjak kecil Meriam merupakan anak kesayangan pasangan Abas dan Suliah yang hanya dikurnai anak satu ini. Gadis cilik ini memiliki paras yang amat cantik, namun kecantikan inilah yang menjadikannya buah godaan kawan-kawan prianya. Ketika Meriam baru berusia 6 tahun, Abas merantau ke Jakarta untuk mencari keberuntungan di ibu kota. Tanggung jawab untuk membesarkan Meriam kini sepenuhnya berada di atas pundak Suliah. “Sudah berapa kali saya peringatkan kamu, jangan main-main sama laki sebelum kamu menikah. Kamu mau jadi lonté apa?” teriak Suliah sambil menampar muka anaknya. “Walaupun kita bukan orang kaya, namun ibumu ini masih cukup dipandang orang di desa ini. Tahu tidak, bahwa dengan kelakuanmu ini kamu mencemarkan nama baik keluarga kita?” Gara-garanya waktu pulang dari mencuci baju di kali, Suliah memergoki anaknya sedang bercekikikan sambil bercumbu-cumbuan di semak-semak dekat sekolah dengan Didi, anak sulung Pak Gadé. Setelah memaki-maki si Didi, Suliah menyeret anaknya sendiri pulang untuk diberi pelajaran. Walaupun dengan hati yang pedih karena sebenarnya ia sendiri tidak tega untuk menyakiti anak kesayangannya, namun dalam alam pikirannya yang sederhana, ia hanya mengenal satu cara untuk memberi pelajaran kepada anaknya yaitu dengan cara memukulinya. Malam itu Meriam dengan mata bengkak akibat tangisnya duduk termenung di atas tempat tidur sambil merenungkan kata-kata ibunya. Darah puber dalam dirinya berontak atas perlakuan kasar terhadap dirinya yang dirasakannya tidak adil. Apakah ini wujud cinta kasih yang layak ia dapatkan dari orangtuanya? Apakah ia salah bahwa teman-teman sekolahnya, terutama yang pria senang pada dirinya? Kalau ibuku tidak mencintaiku lagi apa gunanya aku masih lama-lama tinggal di kampung? Kalaupun pergi aku mau pergi ke mana? Jakarta! Ya, JAKARTA-lah yang akan menjadi tujuanku untuk mencari ayah. Seribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya namun tekadnya sudah bulat. Ia berangkat ke Jakarta! Bulan sudah merayap tinggi di langit ketika pintu rumah Suliah dibuka perlahan-lahan dan sosok tubuh gadis ramping menyelinap keluar dengan membawa bekal satu buntalan berisi dua setel baju dan sepasang sepatu kesayangannya. | Noises were heard from Suliah’s home when she was swearing at Mariam, her only daughter. How could she not be furious, Mariam, whose now on her sixteen, frequently gossiped by Madurasa Villagers. Mariam has been Suliah and her husband, Abas, favourite daughter, as Mariam is their only child. Little Mariam had a very beautiful face, although her beauty was a temptation to most of her boyfriends. When Mariam was only six years old, Abas travelled to Jakarta in his search of fortune in the Capital City. “How many times I have warned you not to fool around with men before you get married? Do you want to be a whore?” Suliah shouted as she slaps her daughter's face.” We are not wealthy, yes, but your mother, me, is still regarded by the villagers. Do you know that your behavior have desecrated our family reputation?” It's all started when Mariam was on her way home from washing clothes in the river, she caught her daughter were giggling and making out in a bush near Didi’s school. Didi is Mr. Gade’s eldest son. After cursing Didi, she dragged her own daughter home to give her a lesson. Deep down in her poignant heart she cannot bear to hurt her own daughter, but on her simple mind there is only one way to teach her daughter, by beating her. In that very night, Mariam, with her pounding eyes she got from crying, was sitting on her bed preoccupied by her Mother words. Her pubescent blood was rebelled upon her mother harsh treatment, which she deemed unfair. Is it a proper form of caring she should have got from her parent? Was she wrong because her friends, mostly men, like her? If my Mom does not love me anymore so why should I stay any longer in this village? But where should I go? Jakarta! Yes, Jakarta will become my destination to look for dad. A thousand of questions raged in her mind, but her decision was unanimous. She was going to Jakarta. The moon was crawling high in the sky, when Suliah’s door opened, and a shape of svelte girl body slipped away, together with a bundle consisted of two pairs of clothes and her favorite shoe. |