Source text in Indonesian | Translation by ria amongpradja (#12599) |
Suara gaduh terdengar dari rumah Suliah ketika ia sedang memarahi Meriam, anak gadisnya semata wayang. Bagaimana dia tidak mau gusar, Meriam yang kini menginjak umur 16 sering menjadi gunjingan penduduk desa Madurasa. Memang semenjak kecil Meriam merupakan anak kesayangan pasangan Abas dan Suliah yang hanya dikurnai anak satu ini. Gadis cilik ini memiliki paras yang amat cantik, namun kecantikan inilah yang menjadikannya buah godaan kawan-kawan prianya. Ketika Meriam baru berusia 6 tahun, Abas merantau ke Jakarta untuk mencari keberuntungan di ibu kota. Tanggung jawab untuk membesarkan Meriam kini sepenuhnya berada di atas pundak Suliah. “Sudah berapa kali saya peringatkan kamu, jangan main-main sama laki sebelum kamu menikah. Kamu mau jadi lonté apa?” teriak Suliah sambil menampar muka anaknya. “Walaupun kita bukan orang kaya, namun ibumu ini masih cukup dipandang orang di desa ini. Tahu tidak, bahwa dengan kelakuanmu ini kamu mencemarkan nama baik keluarga kita?” Gara-garanya waktu pulang dari mencuci baju di kali, Suliah memergoki anaknya sedang bercekikikan sambil bercumbu-cumbuan di semak-semak dekat sekolah dengan Didi, anak sulung Pak Gadé. Setelah memaki-maki si Didi, Suliah menyeret anaknya sendiri pulang untuk diberi pelajaran. Walaupun dengan hati yang pedih karena sebenarnya ia sendiri tidak tega untuk menyakiti anak kesayangannya, namun dalam alam pikirannya yang sederhana, ia hanya mengenal satu cara untuk memberi pelajaran kepada anaknya yaitu dengan cara memukulinya. Malam itu Meriam dengan mata bengkak akibat tangisnya duduk termenung di atas tempat tidur sambil merenungkan kata-kata ibunya. Darah puber dalam dirinya berontak atas perlakuan kasar terhadap dirinya yang dirasakannya tidak adil. Apakah ini wujud cinta kasih yang layak ia dapatkan dari orangtuanya? Apakah ia salah bahwa teman-teman sekolahnya, terutama yang pria senang pada dirinya? Kalau ibuku tidak mencintaiku lagi apa gunanya aku masih lama-lama tinggal di kampung? Kalaupun pergi aku mau pergi ke mana? Jakarta! Ya, JAKARTA-lah yang akan menjadi tujuanku untuk mencari ayah. Seribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya namun tekadnya sudah bulat. Ia berangkat ke Jakarta! Bulan sudah merayap tinggi di langit ketika pintu rumah Suliah dibuka perlahan-lahan dan sosok tubuh gadis ramping menyelinap keluar dengan membawa bekal satu buntalan berisi dua setel baju dan sepasang sepatu kesayangannya. | Uproar was heard from Suliah's house when she was raging at Meriam, her only daughter. How could she not be furious, Meriam which is going to be 16, has often become the gossip of the Madurasa village people. Indeed, ever since a little girl, Meriam is the beloved child of Abas and Suliah who had bestowed an only child. The little girl has a very beautiful face, yet this beauty has become a lure among her male friends. While Meriam was 6 years old, Abas went to Jakarta to find his fortune in the capital city. The responsibility to raise Meriam is now fully on Suliah's shoulder. "I have warned you several times;don't play around with men before you are married. You want to be a whore?" Suliah shouted while slapping her daughter's face. "Although we are not rich, we are respected in this village. Don't you know that with your behavior you smear our family's name?" The cause of the tumult was when Suliah came back from washing clothes in the stream;she caught her daughter was gigling while caressing with Didi, the eldest son of pak Gede in the bushes near the school. After expressing her anger to Didi, Suliah dragged her own daughter home to be given a lesson. She is actually incapable of hurting her beloved daughter, although with sorrowful heart as yet she knows only one means in giving her daughter a lesson, that of by hitting her. That night, with swollen eyes from crying Meriam sit on the bed pondering what her mother had said. Her young blood rebel to the harsh and unfair action done to her; is it the form of love she deserved from her parents? Is she wrong that her friends, especially the boys like her? If my mother doesn't love me anymore, what's the use of staying any longer in the village? If I had to go, where do I go? Jakarta! Yes, JAKARTA will be my intention to find father. Thousands of questions run through her head but she is determined. She is leaving for Jakarta! The moon is crawling high in the sky while the door of Suliah's house is slowly opened and a figure of a slim girl sneaks out, taking a bundle of two pair clothes and a pair of shoes she loves. |